Sungguh memprihatinkan hasil penelitian Vit Machacek dan Martin Srholec, dua peneliti asal Republik Ceko, yang menyebutkan Indonesia menempati urutan kedua negeri yang tidak jujur dalam akademik. Temuan ini tidak sekadar mencoreng nama Indonesia, namun menggambarkan krisis integritas dunia pendidikan Indonesia yang semakin mengkhawatirkan. Peringkat tersebut tidak sekadar angka-angka yang akan hilang dengan sendirinya seiring waktu, melainkan cerminan nilai moral bangsa yang buruk yang tidak mudah untuk dihilangkan.
Meski ketidakjujuran akademik lebih diasosiasikan dengan dunia perguruan tinggi – baik yang dilakukan mahasiswa maupun akademisi – namun semua itu tidak bisa dipungkiri bahwa akar masalah ketidakjujuran berawal dari pendidikan yang paling dasar. Aturan yang jelas pasti ada, namun kadang penerapannya terkesan longgar sehingga masyarakat justru melanggar aturan itu sendiri. Parahnya, pelanggaran terhadap aturan kerap terjadi untuk tujuan tertentu. Sebagai contoh, untuk dapat masuk ke sekolah favorit, tak sedikit orang tua melakukan ketidakjujuran dengan merekayasa domisili demi mengejar area zonasi. Tentu tidak bisa menyalahkan orang tua semata. Ketimpangan kualitas sekolah mendorong masyarakat bersaing ketat untuk mendapatkan sekolah terbaik buat putra-putrinya dengan berbagai cara.
Di sisi lain, persepsi masyarakat tentang arti kesuksesan membuat mereka mendewakan angka-angka tinggi terlepas bagaimana mendapatkannya. Di institusi pendidikan, para pendidik kerap dipersepsikan terlalu mudah memberikan nilai pada siswanya. Ada harapan terang ketika pemerintah melalui Kemendikbudristek resmi menjadikan Tes Kemampuan Akademik (TKA) sebagai sistem penilaian baku di semua jenjang pendidikan tahun ini. Akan terlihat ganjil apabila hasil nilai sekolah tidak sebanding dengan hasil TKA siswa. Artinya, nilai yang dibuat sekolah tidak mencerminkan kompetensi siswa yang sesungguhnya.
Ketidakjujuran akademik tidak hanya merugikan individu yang berbuat curang, namun dikhawatirkan akan menutup daya saing Indonesia di dunia global. Negara lain akan memandang sebelah mata generasi muda yang berasal dari negeri dengan indeks kejujuran akademik yang rendah. Bila plagiarisme dan berbagai tindak kecurangan akademik diberikan toleransi, maka sesungguhnya negara ini sedang membangun integritas pendidikan di atas pondasi yang rapuh.
Bisa jadi, pandangan tentang sebuah kesuksesan ditambah ketidakpedulian dan pembiaran dari pihak berwenang terhadap ketidakjujuran akademis membuat masyarakat dan berbagai institusi menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang wajar dalam dunia pendidikan. Bila praktik ini terus dibiarkan, semangat belajar generasi muda menjadi mandul karena semua ingin melakukan jalan pintas untuk meraih kesuksesan. Akhirnya, tercipta lingkaran setan yang tak putus-putus; masuk sekolah dengan cara manipulatif, mengerjakan tugas hasil plagiarisme, mengejar nilai tinggi dengan berbagai cara, mendapatkan pekerjaan tanpa kompetisi yang benar dan akhirnya perilaku buruk berulang pada generasi berikutnya.
Situasi ini tidak boleh dibiarkan berlarut. Perlu ada penanganan yang serius untuk mengatasi masalah ini agar bangsa ini tidak semakin jauh terperosok pada kesuksesan semu. Pemerintah harus hadir dengan kebijakan jelas, tegas dan konsisten untuk mengatasi masalah ini agar masyarakat paham bahwa ketidakjujuran akademik harus segera dihentikan. Sangat penting untuk mengawasi penerapan kebijakan ini dalam masyarakat sehingga tidak ada pihak yang sengaja mempermainkan. Hukuman yang adil harus diperlakukan pada pelaku agar masyarakat tahu bahwa integritas akademik harus tegak sebagai fondasi pembangunan bangsa.
Memperkuat kurikulum yang berbasis etika dan integritas akademik menjadi salah satu solusi tepat. Guru harus diberi ruang untuk menilai secara obyektif, sedang siswa harus didorong untuk selalu berperilaku jujur. Sikap peduli dan tidak abai terhadap pemalsuan akademik sejak dari tingkat dasar harus dibangun agar masyarakat dan dunia internasional percaya bahwa negeri ini berupaya untuk membangun integritas akademik yang bermartabat.
Indonesia perlu belajar praktik baik pendidikan dari negara-negara maju yang terbukti menjunjung tinggi kejujuran akademik. Jangan sampai institusi pendidikan berubah fungsi dari gudang pengetahuan menjadi lembaga komersial.
Penulis: Lilis Ummi Fa’iezah, MA. - Guru MAN 1 Yogyakarta.