Oleh: Nurokhmah, M. Pd. (Guru PKn MAN 1 Yogyakarta)
Bagi umat Islam, Ramadhan adalah momen beribadah yang ditunggu-tunggu kehadirannya. Bulan di mana segala kebaikan dan pahala besar telah dijanjikan Allah swt bagi umat muslim.
Di setiap Ramadhan juga adalah momen bagaimana kita menyaksikan berbagai praktik moderasi diimplementasikan. Baik moderasi sesama umat Islam yang berbeda aliran, maupun dengan umat yang berbeda agama.
Moderasi dalam Bahasa Arab sebagai bahasa umat Islam diterjemahkan dengan kata wasathiyyah yang punya arti ditengah-tengah. Sedangkan dalam Bahasa Inggris yang merupakan bahasa internasional dari kata moderation berupa kata benda (noun) dari kata kerja moderate, yang dalam kamus The American Heritage, memiliki dua arti: (1) Menjadi berkurang kekerasan, parah, atau ekstrem; mereda; (2) Bertindak sebagai moderator (penengah). Moderate sebagai kata sifat (adjecitive) memiliki empat arti: (1) Berada dalam batas yang wajar, tidak berlebihan atau ekstrem; (2) Tidak kasar atau tunduk kepada (yang) ekstrem, ringan atau tenang, sedang; (3) Kuantitas medium atau rata-rata; kualitas terbatas atau rata-rata; biasa-biasa saja; (4) Lawan dari pandangan atau tindakan radikal atau ekstrem, terutama dalam politik atau agama.
Dari buku saku Kementerian Agama dan juga bersumber dari hasil KTT Bogor 2018 dipaparkan 9 nilai moderasi. Kesembilan nilai moderasi atau wasathiyah itu adalah tengah-tengah (tawassuth), tegak-lurus (i’tidal), toleransi (tasamuh), musyawarah (syura), reformasi (ishlah), kepeloporan (qudwah), kewargaan/cinta tanah air (muwathanah), anti kekerasan (la ’unf) dan ramah budaya (i’tibar al-‘urf). Dimana semua nilai tersebut harus dikenalkan dan juga diaplikasikan dalam berbagai situasi masyarakat.
Perilaku moderasi beragama dapat diwujudkan dalam rangka memelihara tertib sosial. Disini dimaknai bagaimana masyarakat mampu taat pada segala aturan yang sah, dan selalu memilih cara damai dalam menyelesaikan segala sesuatu. Menghindari fasad atau kerusakan/kekerasan ketika ada hal yang tidak sesuai. Secara sederhana, perilaku ini dapat dilihat melalui kepatuhan kepada larangan Allah dalam Q.S. al-A’raf [7]: 85, “Janganlah kalian mencurangi segala sesuatu milik orang lain dan janganlah kalian berbuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya. Hal seperti itu lebih baik bagi kalian, jika kalian orang-orang beriman”.
Dengan memahami secara maksimal hal yang demikian, maka diharapkan pada momen Ramadhan bulan yang suci ini, mampu terwujud kedamaian. Sehingga masyarakat nyaman dalam melaksanakan ibadah secara maksimal bagi yang muslim. Bagi yang bukan muslim juga nyaman dalam melaksanakan kegiatan kesehariannya. Jika nanti terdapat berbagai perbedaan di masyarakat. Seperti perbedaan puasa dan tidak puasa (muslim dan bukan muslim) karena kalau yang muslim tentunya wajib berpuasa terkecuali bila ada udzur. Perbedaan penentuan awal Ramadhan, perbedaan penentuan Hari Raya Idul Fithri, dan lainsebagainya bisa dihadapi dengan hati terbuka.
Pemerintah Indonesia pun selama ini memberikan kemerdekaan untuk diijinkan berbeda dari penentuan tanggal resmi pemerintah. Dan itu juga merupakan wujud penghormatan pemerintah pada perbedaan yang ada di masyarakat. Masyarakatpun selama ini telah terdidik untuk beribadah sesuai prinsip masing-masing. Perbedaan jumlah rakaat saat tarawih, jumlah takbir saat Id, dan lain sebagainya telah diterima menjadi masalah yang biasa dengan tetap saling menghormati.
Yang patut diwaspadai adalah, jika ada pihak yang masih belum memahami moderasi beragama, dan kemudian melakukan upaya untuk memancing di air keruh. Membuat berbagai sinyalemen, perilaku, maupun, kegaduhan di masyarakat dengan cara menajamkan perbedaan dan tidak fokus pada persatuan. Ataupun merasa diri paling benar, dan menyalahkan yang berbeda. Terlebih lagi tahun 2023 ini adalah tahun yang panas dalam hal politik. Maka sebaiknya masyarakat berhati-hati dan selalu memegang teguh prinsip kedamaian tanpa kekerasan. Jangan sampai terpancing dan mampu bersabar agar tidak menodai kesucian bulan Ramadhan.
Sebagai contoh beberapa kejadian terjadi, yaitu dugaan penodaan Hari Raya Nyepi di Bali dan juga dugaan pemaksaan penutupan patung Bunda Maria di Kulonprogo Yogyakarta. Tetapi itu semua masih dilakukan penyelidikan lebih mendalam tentang kebenarannya. Yang penting jangan sampai masyarakat menjadi terprovokasi, sehingga mengganggu kesucian ibadah di Bulan Ramadhan. Dan semoga apa yang terjadi hanyalah kesalahpahaman, sehingga toleransi di Indonesia mampu dijaga.
Sumber: https://retizen.republika.co.id/posts/207664/ramadhan-sebagai-momen-strategis-moderasi-beragama